DALAM RINTIHAN SESAL CHAPTER 2
Beberapa saat kemudian acara pun dimulai. Satu per satu anak
mulai memperlihatkan kemampuannya di depan para penonton. Semua terlihat sangat
senang. Tapi ada satu orang yang duduk melamun di belakang panggung dengan
wajah lesu.
“Kamu kenapa
Syeil, kok lesu gitu sih? Bentar lagi kamu tampil lho, “
“Oh iya ada
apa? Maaf, tadi kamu bilang apa? Aku nggak begitu denger, “
“Sudah aku duga
lamu melamun. Iya kan? “
“Enggak kok.
Tadi cuman lagi nggak konsen aja lagi, “
“Alah jangan
boong deh! Aku itu sudah kenal kamu lama tahu. Kalau ada masalah cerita dong! “
“Begini
ki..........................” belum sempat ia mengutarakan isi hatinya pada
Kiky, pembawa acara sudah memanggilnya untuk tampil.
“Acara
selanjutnya adalah pembacaan puisi oleh siswa yang paling cantik dan lembut di
SMA Seka Jaya. Oleh karena itu mari kita sambut Syeilla Dee......li............ka!!!!!!
“ sambut pembawa acara.
“Syeilla......Syeilla.........Syeilla..............”
sorak-sorai para penonton yang notabennya para teman Syeilla yang dapat
kesempatan jadi penonton.
“Eh Ki aku
sudah dipanggil tuh. Ceritanya nanti aja ya? “
“Oke. Semangat
ya! “
“Pasti,
“
Syeilla pun
memasuki panggung. Mulailah dibacanya puisi yang dibuat khusus untuk sang ayah
yang belum kunjung datang. Suasana mulai hening seketika.
AYAH
Kaulah
permata yang berkilauan
Berikan
cahaya terang di setiap kegelapan
Hadir
mendampingiku yang hidup tanpa seorang ibu
Mencurahkan
segala kasih sayang yang setulus-tulusnya
Yang
takkan pernah terkira
Kaulah
satu-satunya harta yang paling berharga
Selayaknya
hembusan nafas dan separuh jiwa yang melekat dalam raga
Yang
menjadi seulur kata yang mengisi lubang lubang jiwa
Berjuta
kasih sayang yang tercurah dalam sanubariku hanya untukmu
Malaikat
yang hadir dalam untaian nafasku
Satu
jiwa yang memberi arti segalanya
Dan
hanya satu untuk selamanya
Ayah................
Mungkin
kau tak pernah peduli
Betapa
besar rasa sayangku ini padamu ayah
Tak
terukur dalam dan luasnya
Dan
takkan habis sampai kapanpun juga
Ayah,
Mungkin
ku memang tak bisa jadi apa yang kau pinta
Tak
layak menjadi sesuatu yang kau banggakan
Namun
aku akan selalu berusaha memberikan apapun yang ku punya asal kau bahagia
Meski
haruslah usai semua jalinan cerita
Tiadalah
sosok lain yang mampu menggantikanmu dalam hidupku, ayah
Bagaikan
siput yang hanya memiliki satu cangkang
Yang
tak dapat terganti meski dengan pahatan emas bertabur permata
Karna
kaulah satu-satunya yang paling kusayang sekarang ataupun nanti sampai aku mati
Ayah,
Terima
kasih atas segala yang kau berikan
Maaf
jika ku tak bisa membalasnya
Karna
segala yang ku berikan tak sebesar apa yang kau korbankan
Semua yang hadir terharu mendengar puisi yang Syeilla
utarakan. Butir-butir air mata membasahi pipi mereka. Tepuk tangan yang amat
keras menandakan kepuasan yang begitu besar. Begitu pula Syeilla, air matanya
mengalir begitu deras. Tapi tiba-tiba ada yang membuat dirinya begitu bahagia.
Saat ia melihat penonton bertepuk tangan, dilihatnya sosok sang ayah yang ada
di barisan paling depan. Hal itu membuat bunga-bunga kebahagiaan terpancar
jelas dari raut mukanya. Ia tak meyangka dan merasa ini mimpi.
“Ya Allah
benarkah ini? Apa hanyalah mimpi semata? Jika iya ku rela tak bangun untuk
selama-lamanya, ”masih tak percaya dan mencoba mencubit pipinya.
“Au sakit.
Berarti ini bukan mimpi. Terima kasih ya Allah kau telah mengabulkan doaku ini,
“senyumnya pun merekah sambil tanpa ia sadari butir demi butir aliran
kebahagiaan mengalir di pipinya. Selama belasan tahun dia telah menanti hal ini
terjadi.
Tak kuasa ia menahan bendungan air matanya yang akhirnya mengalir bersama
perasaan bahagianya. Syeilla tak menyangka ayahnya ada dihadapannya sekarang
menyaksikan dirinya. Ia pun tersenyum kepada pria tersebut yang hanya
memperlihatkan wajah tanpa ekspresi. Syeilla menuruni panggung untuk menemui
ayahnya, tetapi belum ia sampai, ayahnya berjalan pergi meninggalkannya. Ia
mengajar ayahnya hingga ayahnya terhenti dan membalikkan badannya.
“ Kenapa kamu mengikuti ayah?” tanya ayahnya.
“Sheilla hanya ingin tau, apa
ayah senang dengan puisi yang aku bacakan tadi? Aku membuat puisi itu untuk
ayah. Aku juga melimpahkan semua perasaanku didalamnya. Puisi...”
“Apa yang kamu katakan,
Sheilla? Kamu hanya membuang-buang waktu ayah dengan celotehanmu yang tak
berguna. Ayah hadir hanya untuk berpartisipasi sebagai komite sekolah. Kamu
justru mempermalukan ayah, bagaimana kamu bisa membacakan puisi berjudul ayah
di hari ibu?” kata ayahnya.
Ayahnya pergi meninggalkan Sheilla yang termenung.
Perasaan senangnnya bercampur aduk dengan kekecewaan yang mendalam. Hatinya
terasa seperti tertusuk pedang yang menggores bagian terdalam hatinya. Kakinya
lemas tak mampu menahan beban tubuhnya hingga ia pun terjatuh. Ia hanya mampu
terduduk di tanah sembari termenung.
Kiky yang baru datang terheran-heran melihat wajah
Sheilla. Sheilla berdiri dan pergi tanpa menghiraukan Kiky yang ada
disampingnya.
Bersambung.....
0 komentar :
Posting Komentar